Oleh: Abdul Rahman Sutara
Penulis adalah kader PMII penikmat Film; Pendiri Komunitas Mahasiswa Kreatif Audio- Visual (KOMKA)
UIN Syarif Hidyayatullah
Sejak setahun terakhir ini, masyarakat muslim Indonesia mulai membincangkan kembali tentang munculnya beberapa film yang bernuansa dakwah atau paling tidak film tersebut bergenre islami. Kemunculan film- film yang berjudul; Ayat- Ayat Cinta, Kun Fyakun, Mengaku Rasul, Wanita Berkalung Sorban, dan yang terakhir Ketika Cinta Bertasbih, sepertinya telah mendapat klaim sebutan dari kalangan masyarakat islam Indonesia sebagai film Islami.
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan, agar umat islam Indonesia jangan terjebak oleh tontonan-tontonan yang mengatasnamakan “cerita islam”, akan tetapi pada kenyataanya hanya mengeksploitasi umat islam untuk berbondong-bondong ke bioskop sehingga mengangkat rating film tersebut. Dan disini juga perlu ada penyatuan persepsi dari tokoh islam (Cendikiawan, ulama, akademisi islam ) dengan para sutrada dan produser film islam, guna menemukan definisi dan format film islam yang sebenarnya, dan sesuai dengan konteks agama dan realitas social masyarakat.
Fenomena menarik dalam konteks pemanfaatan media film sebagai saluran dakwah mulai terjadi di Indonesia yang memiliki populasi masyarakat muslim terbesar didunia sudah seharusnya mampu memanfaatkan secara efektif teknologi audio-visual tersebut. Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk muslim mayoritas dinyatakan sebagai negara terbesar kedua film prononya, ini menjadi salah satu faktor penyebab maaraknya pemerkosaan yang diawali dengan menonton film porno. Dalam kasus ini penulis hendak mengatakan, bahwa ini menjadi kelalaian umat islam Indonesia dalam memanfaatkan sekaligus mengarahkan film sebagai media dakwah.
Perkembangan tekhnologi membawa perubahan besar terhadap peradaban manusia. Dengan semakin majunya tekhnologi informasi membuat bumi menjadi sangat sempit. Hasil kemajuan dibidang ini berdampak pada derasnya arus informasi yang tak mengenal batas ruang dan waktu. Derasnya arus informasi ini didukung oleh berbagai media sebagai corong penyampai pesan baik itu komunikasi yang bersifat massa maupun pribadi.
Film merupakan media komunikasi yang efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai kepada masyarakat sehingga prilaku penonton dapat berubah mengikuti apa yang disaksikannya dalam berbagai film yang disaksikannya. Melihat hal demikian film sangat memungkinkan sekali media film digunakan sebagai sarana penyampai syiar Islam kepada masyarakat luas.
Dalam konteks ilmu komunikasi, terdapat 12 prinsip-prinsip komunikasi, salah satu diantaranya adalah; Prinsip komunikasi dimensi isi dan dimensi hubungan. Maksudnya adalah bahwa dimensi isi disandi secara verbal, sementara dimensi hubugan disandi secara nonverbal. Dalam penjelasan yang lain, dimensi isi menunjukan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa yang dikatakan/sampaikan. Sedangkan dimensi hubungan menujnjukan bagaimana cara mengatakan dan menyampaikanya yang juga mengisyaratkan bagaiman hubungan para peserta komunikasi itu, dan bagaimana seharusnya pesan itu ditafsirkan.
Film sebagai salah satu media komunikasi, tentunya memiliki pesan yang akan disampaikan. Maka isi pesan dalam film merupakan dimensi isi, sedangkan Film sebagai alat (media) berposisi sebagai dimensi hubungan. Dalam hal ini, pengaruh suatu pesan akan berbeda bila disajikan dengan media yan berbeda. Misalnya, suatu cerita yang penuh dengan kekerasan dan seksualisme yang disajikan oleh media audio-visual (Film dan Televisi) boleh jadi menimbulkan pengaruh yang jauh lebih hebat, misalnya dalam bentuk peniruan oleh anak-anak atau remaja yang disebabkan oleh tontonan sebuah film, bila dibanding dengan penyajian cerita yang sama lewat majalah dan radio, karena film memiliki sifat audio visual-visual,sedangkan majalah mempunyai sifat visual saja dan radio mempunyai sifat audio saja. Berkenaan dengan ini, tidaklah mengejutkan bila Marshall Mcluhan mengatakan The medium is the message.
Film sebagai salah satu produk kemajuan teknologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap arus komunikasi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Bila dilihat lebih jauh film bukan hanya sekedar tontonan atau hiburan belaka, melainkan sebagai suatu media komunikasi yang efektif. Melalui film kita dapat mengekspresikan seni dan kreativitas sekaligus mengkomunikasikan nilai-nilai ataupun kebudayaan dari berbagai kondisi masyarakat. Dengan demikian melalui film bisa disampaikan identitas suatu bangsa.
Layaknya sebuah pemandangan, Film tidak hanya sebagai tontonan belaka. Akan tetapi dalam film terkandung pesona dan kehebatan: melalui cerita-cerita yang sangat lokal, para pembuat film yang tahu kehidupan, mengerti masyarakatnya, bisa menyampaikan pesan-pesan universal untuk seluruh umat manusia. Film tidak mengenal batasan geografis, yang memang dibuat orang bukan untuk kepentingan politik. Bahasa film cuma satu, bahasa umat manusia.
Padahal jika diamati, dewasa ini kalangan masyarakat penonton Indonesia semakin kritis dalam memilih jenis tontonan film. Mereka tidak hanya mencari tontonan yang menghibur tetapi juga pengalaman batin. Akan tetapi, sayangnya kenyataan ini belum dapat disadari oleh para produser film kita. Para pengusaha film kita masih dalam tahap euforia kebangkitan kembali perfilman nasional pasca ”mati suri” dua belas tahun yang lalu. Anggapan bahwa eksploitasi tubuh, sadisme, hedonisme serta tontonan-tontonan budaya pop lainya masih menjadi kebutuhan mayoritas masyarakat kita, tercermin dari produk-produk film nasional yang beredar saat ini. Inilah yang menyebabkan tema film-film kita tidak pernah beranjak dari lingkaraan klise. Ini juga yang menjadi indikasi, bahwa film-film di Indonesia belum mampu bertutur dan bercerita yang sesuai dengan karakter masyarakat dengan ke-Indonesiaanya
Film-film yang baik, tentunya akan memberikan pengalaman batin dan pengalaman audio visual baru mengenai sebuah masyarakat, suatu kebudayaan, yang unik dan sering tak terduga bagi orang yang menontonya.
Film merupakan media komunikasi yang efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai kepada masyarakat sehingga prilaku penonton dapat berubah mengikuti apa yang disaksikannya dalam berbagai film yang disaksikannya. Melihat hal demikian film sangat memungkinkan sekali digunakan ssebagai sarana penyampai syiar Islam kepada masyarakat luas.
Dalam penyampaian pesan melalui Film terjadi proses yang berdampak signifikan bagi para penontonnya. Ketika menonton sebuah film, terjadi identifikasi psikologis dari diri penonton terhadap apa yang disaksikannya. Penonton memahami dan merasakan seperti apa yang dialami salah satu pemeran. Pesan-pesan yang termuat dalam sejumlah adegan film akan membekas dalam jiwa penonton, sehingga pada akhirnya pesan-pesan itu membentuk karakter penonton.
Seperti apa yang diungkapkan Aep Kusnawan (2004) yang mengutip Onong Uchayana E (2000), film merupakan medium komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dengan demikian lebih jauh film diharapkan dapat memperbaiki kondisi masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikannya.
Selanjutnya film sebagai media komunikas, film juga dapat berfungsi sebagai media dakwah yang bertujuan mengajak kepada kebenaran. Dengan berbagai kelebihan yang terdapat dalam film menjadikan pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui media ini dapat menyentuh penonton tanpa mereka merasa digurui. Kelebihan yang terdapat dalam film sebagai media komunikasi massa diantaranya adalah film merupakan bayangan kenyataan hidup sehari-hari, film dapat lebih tajam memainkan sisi emosi pemirsa dan menurut Soelarko (1978) efek terbesar film adalah peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap orang. Maka tidak heran bila penonton tanpa disadari berprilaku mirip dengan peran dalam suatu film-film yang pernah ditontonya.
Terdapat sisi nilai lebih dari film dalam mengkomunikasikan suatu pesan. Sisi lebih yang terdapat dalam film sebagai media komunikasi massa diantaranya adalah film merupakan bayangan kenyataan hidup sehari-hari, film dapat lebih tajam memainkan sisi emosi pemirsa dan menurut Soelarko (1978) efek terbesar film adalah peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap orang. Maka tidak heran bila penonton tanpa disadari berprilaku mirip dengan peran dalam suatu film-film yang pernah ditontonya.
Kondisi masayarakat Indonesia yang multikultural dan kepercayaan tentu menjadikan setiap seni dan budaya memiliki nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan “kesakralanya”, dalam konteks ini tidak semua tema film dapat diproduksi di negeri ini, dan juga tidak semua tema film yang diproduksi oleh negara luar terutama barat, dapat diapresiasi dan ditonton oleh masyarakat Indonesia mengingat bangsa Indonesia memiliki tradisi kearifan lokal yang santun dan harus dipertahankan agar tidak terkontaminasi oleh budaya dan trend barat yang masuk melaui film, sebagai transmisi pesannya.
Kebangkitan kembali film Indonesia tentunya memberikan harapan akan hadirnya kembali hiburan alternatif berupa tontonan sinematography yang diproduksi sendiri oleh sineas dalam negeri. Setelah sebelumnya film-film yang banyak diputar baik di bioskop atupun televisi Indonesia didominasi oleh produksi-produksi yang berasal dari luar negeri, seperti; Amerika Serikat (Hollywood), India (Bollywood) China dan Hongkong (mandarin). Kondisi ini tentu saja sedikit banyak telah membawa dampak negatif terhadap budaya masyarakat Indonesia sekarang. Karena kebanyakan film-film tersebut dianggap tidak sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat di Indonesia.