MENUJU DAKWAH KREATIF MELALUI FILM; Antara Harapan Dan Tantangan

Standar


Oleh: Abdul Rahman Sutara
Penulis adalah kader PMII penikmat Film; Pendiri Komunitas Mahasiswa Kreatif Audio- Visual (KOMKA)
UIN Syarif Hidyayatullah

Sejak setahun terakhir ini, masyarakat muslim Indonesia mulai membincangkan kembali tentang munculnya beberapa film yang bernuansa dakwah atau paling tidak film tersebut bergenre islami. Kemunculan film- film yang berjudul; Ayat- Ayat Cinta, Kun Fyakun, Mengaku Rasul,  Wanita Berkalung Sorban, dan yang terakhir Ketika Cinta Bertasbih, sepertinya telah mendapat klaim sebutan dari kalangan masyarakat islam Indonesia sebagai film Islami.

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan, agar umat islam Indonesia jangan terjebak oleh tontonan-tontonan yang mengatasnamakan “cerita islam”, akan tetapi pada kenyataanya hanya mengeksploitasi umat islam untuk berbondong-bondong ke bioskop sehingga mengangkat rating film tersebut. Dan disini juga perlu ada penyatuan persepsi dari tokoh islam (Cendikiawan, ulama, akademisi islam ) dengan para sutrada dan produser film islam, guna menemukan definisi dan format film islam yang sebenarnya, dan sesuai dengan konteks agama dan realitas social masyarakat.

Fenomena menarik dalam konteks pemanfaatan media film sebagai saluran dakwah mulai terjadi di Indonesia yang memiliki populasi masyarakat muslim terbesar didunia sudah seharusnya mampu memanfaatkan secara efektif teknologi audio-visual tersebut. Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk muslim mayoritas dinyatakan sebagai negara terbesar kedua film prononya, ini menjadi salah satu faktor penyebab maaraknya pemerkosaan yang diawali dengan menonton film porno. Dalam kasus ini penulis hendak mengatakan, bahwa ini menjadi kelalaian umat islam Indonesia dalam memanfaatkan sekaligus mengarahkan film sebagai media dakwah.

Perkembangan tekhnologi membawa perubahan besar terhadap peradaban manusia. Dengan semakin majunya tekhnologi informasi membuat bumi menjadi sangat sempit. Hasil kemajuan dibidang ini berdampak pada derasnya arus informasi yang tak mengenal batas ruang dan waktu. Derasnya arus informasi ini didukung oleh berbagai media sebagai corong penyampai pesan baik itu komunikasi yang bersifat massa maupun pribadi.

Film merupakan media komunikasi yang efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai kepada masyarakat sehingga prilaku penonton dapat berubah mengikuti apa yang disaksikannya dalam berbagai film yang disaksikannya. Melihat hal demikian film sangat memungkinkan sekali media film digunakan sebagai sarana penyampai syiar Islam kepada masyarakat luas.

Dalam konteks ilmu komunikasi, terdapat 12 prinsip-prinsip komunikasi, salah satu diantaranya adalah; Prinsip komunikasi dimensi isi dan dimensi hubungan. Maksudnya adalah bahwa dimensi isi disandi secara verbal, sementara dimensi hubugan disandi secara nonverbal. Dalam penjelasan yang lain, dimensi isi menunjukan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa yang dikatakan/sampaikan. Sedangkan dimensi hubungan menujnjukan bagaimana cara mengatakan dan menyampaikanya yang juga mengisyaratkan bagaiman hubungan para peserta komunikasi itu, dan bagaimana seharusnya pesan itu ditafsirkan.

Film sebagai salah satu media komunikasi, tentunya memiliki pesan yang akan disampaikan. Maka isi pesan dalam film merupakan dimensi isi, sedangkan Film sebagai alat (media) berposisi sebagai dimensi hubungan. Dalam hal ini, pengaruh suatu pesan akan berbeda bila disajikan dengan media yan berbeda. Misalnya, suatu cerita yang penuh dengan kekerasan dan seksualisme yang disajikan oleh media audio-visual (Film dan Televisi) boleh jadi menimbulkan pengaruh yang jauh lebih hebat, misalnya dalam bentuk peniruan oleh anak-anak atau remaja yang disebabkan oleh tontonan sebuah film, bila dibanding dengan penyajian cerita yang sama lewat majalah dan radio, karena film memiliki sifat audio visual-visual,sedangkan majalah mempunyai sifat visual saja dan radio mempunyai sifat audio saja. Berkenaan dengan ini, tidaklah mengejutkan bila Marshall Mcluhan mengatakan The medium is the message.

Film sebagai salah satu produk kemajuan teknologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap arus komunikasi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Bila dilihat lebih jauh film bukan hanya sekedar tontonan atau hiburan belaka, melainkan sebagai suatu media komunikasi yang efektif. Melalui film kita dapat mengekspresikan seni dan kreativitas sekaligus mengkomunikasikan nilai-nilai ataupun kebudayaan dari berbagai kondisi masyarakat. Dengan demikian melalui film bisa disampaikan identitas suatu bangsa.

Layaknya sebuah pemandangan, Film tidak hanya sebagai tontonan belaka. Akan tetapi dalam film terkandung pesona dan kehebatan: melalui cerita-cerita yang sangat lokal, para pembuat film yang tahu kehidupan, mengerti masyarakatnya, bisa menyampaikan pesan-pesan universal untuk seluruh umat manusia. Film tidak mengenal batasan geografis, yang memang dibuat orang bukan untuk kepentingan politik. Bahasa film cuma satu, bahasa umat manusia.

Padahal jika diamati, dewasa ini kalangan masyarakat penonton Indonesia semakin kritis dalam memilih jenis tontonan film. Mereka tidak hanya mencari tontonan yang menghibur tetapi juga pengalaman batin. Akan tetapi, sayangnya kenyataan ini belum dapat disadari oleh para produser film kita. Para pengusaha film kita masih dalam tahap euforia kebangkitan kembali perfilman nasional pasca ”mati suri” dua belas tahun yang lalu. Anggapan bahwa eksploitasi tubuh, sadisme, hedonisme serta tontonan-tontonan budaya pop lainya masih menjadi kebutuhan mayoritas masyarakat kita, tercermin dari produk-produk film nasional yang beredar saat ini. Inilah yang menyebabkan tema film-film kita tidak pernah beranjak dari lingkaraan klise. Ini juga yang menjadi indikasi, bahwa film-film di Indonesia belum mampu bertutur dan bercerita yang sesuai dengan karakter masyarakat dengan ke-Indonesiaanya
Film-film yang baik, tentunya akan memberikan pengalaman batin dan pengalaman audio visual baru mengenai sebuah masyarakat, suatu kebudayaan, yang unik dan sering tak terduga bagi orang yang menontonya.

Film merupakan media komunikasi yang efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai kepada masyarakat sehingga prilaku penonton dapat berubah mengikuti apa yang disaksikannya dalam berbagai film yang disaksikannya. Melihat hal demikian film sangat memungkinkan sekali digunakan ssebagai sarana penyampai syiar Islam kepada masyarakat luas.

Dalam penyampaian pesan melalui Film terjadi proses yang berdampak signifikan bagi para penontonnya. Ketika menonton sebuah film, terjadi identifikasi psikologis dari diri penonton terhadap apa yang disaksikannya. Penonton memahami dan merasakan seperti apa yang dialami salah satu pemeran. Pesan-pesan yang termuat dalam sejumlah adegan film akan membekas dalam jiwa penonton, sehingga pada akhirnya pesan-pesan itu membentuk karakter penonton.
Seperti apa yang diungkapkan Aep Kusnawan (2004) yang mengutip Onong Uchayana E (2000), film merupakan medium komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dengan demikian lebih jauh film diharapkan dapat memperbaiki kondisi masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikannya.

Selanjutnya film sebagai media komunikas, film juga dapat berfungsi sebagai media dakwah yang bertujuan mengajak kepada kebenaran. Dengan berbagai kelebihan yang terdapat dalam film menjadikan pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui media ini dapat menyentuh penonton tanpa mereka merasa digurui. Kelebihan yang terdapat dalam film sebagai media komunikasi massa diantaranya adalah film merupakan bayangan kenyataan hidup sehari-hari, film dapat lebih tajam memainkan sisi emosi pemirsa dan menurut Soelarko (1978) efek terbesar film adalah peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap orang. Maka tidak heran bila penonton tanpa disadari berprilaku mirip dengan peran dalam suatu film-film yang pernah ditontonya.

Terdapat sisi nilai lebih dari film dalam mengkomunikasikan suatu pesan. Sisi lebih yang terdapat dalam film sebagai media komunikasi massa diantaranya adalah film merupakan bayangan kenyataan hidup sehari-hari, film dapat lebih tajam memainkan sisi emosi pemirsa dan menurut Soelarko (1978) efek terbesar film adalah peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap orang. Maka tidak heran bila penonton tanpa disadari berprilaku mirip dengan peran dalam suatu film-film yang pernah ditontonya.

Kondisi masayarakat Indonesia yang multikultural dan kepercayaan tentu menjadikan setiap seni dan budaya memiliki nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan “kesakralanya”, dalam konteks ini tidak semua tema film dapat diproduksi di negeri ini, dan juga tidak semua tema film yang diproduksi oleh negara luar terutama barat, dapat diapresiasi dan ditonton oleh masyarakat Indonesia mengingat bangsa Indonesia memiliki tradisi kearifan lokal yang santun dan harus dipertahankan agar tidak terkontaminasi oleh budaya dan trend barat yang masuk melaui film, sebagai transmisi pesannya.

Kebangkitan kembali film Indonesia tentunya memberikan harapan akan hadirnya kembali hiburan alternatif berupa tontonan sinematography yang diproduksi sendiri oleh sineas dalam negeri. Setelah sebelumnya film-film yang banyak diputar baik di bioskop atupun televisi Indonesia didominasi oleh produksi-produksi yang berasal dari luar negeri, seperti; Amerika Serikat (Hollywood), India (Bollywood) China dan Hongkong (mandarin). Kondisi ini tentu saja sedikit banyak telah membawa dampak negatif terhadap budaya masyarakat Indonesia sekarang. Karena kebanyakan film-film tersebut dianggap tidak sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat di Indonesia.

ERA BARU SIARAN TELEVISI INDONESIA; News Televition Generation

Standar

“Television takes the process much further by making people visually available, and not in the frozen modality of newspaper photographs, but in movement and action”
(Fairclough 1995, 38-9)

oleh; Abdul Rahman Sutara
(catatan dari orang yang masih belajar)
SiGI Community

Diera globalisasi saat ini, jelas sekali bahwa televisi sebagai sebuah saluran informasi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainya. Menurut pakar televisi, Jhon Fiske, bahwa televisi merupakan “teks” yang dapat dibaca dan dimaknai secara luas. Situasi tersebut, tentu menjadikan televisi saat ini sebagai jendela dunia untuk setiap orang yang ingin mendapatkan informasi secara detail, ini karena penyaluran informasi melalui media televisi memiliki dua kekuatan pemahaman; audio dan visual.

Pada satu tahun terakhir ini, dua news Televisi di Indonesia mampu mengimbangi rating bahkan hampir mengalahkan program- program entertainment televisi. Kedua stasiun televise tersebut adalah Metro Tv dan TV One yang selama ini populer dengan program- program news & Informasi. Paling tidak ada dua factor pemicu utama yang menyebabkan naiknya rating program kedua stasiun televise tersebut ; (1) Penyajian program- program informasi dan News pada kedua stasiun Tv tersebut dikemas dengan sangat menarik dan inovatif sehingga penyajian programnya (namun bukan pada isi programnya) dapat menarik bagi semua kalangan masyarakat, karena selama ini program- program news & informasi hanya diminati oleh kalangan pendidikan dan ekonomi menegah keatas saja. (2) Penyajian informasi melalui dua stasiun Tv tersebut didukung oleh momentum/ kejadian- kejadian yang cukup monumental, misalnya; kasus skandal Bank Century dan perburuan kelompok teroris, dalam teori komunikasi dan wacana media ini disebut dengan dimensi isi dan situasional.

Namun, apakah suksesnya program- program news & informasi pada kedua stasiun televise tersebut menjadi tolak ukur atas era keterbukaan informasi saat ini? Terlebih lagi, apakah masyarakat Indonesia dan kelompok coorporasi televise telah memasuki era domokrasi informasi, sehingga orientasi keberadaan media sebagai informan connected antara kaum elit penguasa dengan masyarakat dapat secara fair terjadi. Untuk itu perlu kiranya menelaah kembali beberapa teori komunikasi media guna melihat posisi ideal media televise sebagai chanel- news maker dan masyarakat sebagai komunikan/news consumire

Berkaitan dengan proses pembentukan opini public melalui media, pakar teori komunikasi massa John Dewey melihat perkembangan kapasitas masyarakat telah melewati batas- batas, karena adanya sarana fisik komunikasi. Ini artinya, pembentukan opini public yang terjadi melalui proses diskusi kemudian disajikan melalui saluran media yang tepat (dalam hal ini televisi), maka dengan sendirinya ia akan membentuk kegiatan aktif dalam komunitas masyarakat penontonya. Senada dengan ini, dalam karya- karya lain pakar komunikasi modern, seperti Charles Horton Cooley dan Robert E. Park percaya bahwa media modern (dalam hal ini Televisi) dapat mewujudkan sebuah komunitas demokratis yang sebenarnya. Dengan kata lain, seperti yang ditulis dalam buku Jhon Dewey Media and the American Mind mengatakan bahwa; Komunikasi modern (salah satunya adalah televisi) secara mendasar berperan sebagai sebuah agen untuk memperbaiki konsesnsus politik dan moral secara meluas yang telah diancam oleh ganguan dari abad ke-19 berupa industrialisasi, urbanisasi, dan imigrasi.

Dalam paham kajian ilmuan komunikasi Kanada; Marshall Mcluhan, dengan teorinya yang terkenal technological determinism, yakni suatu pandangan dengan pendekatan cultural yang mengasumsikan teknologi membawa implikasi bagi perubahan cara hidup suatu masyarakat. Ini artinya, media komunikasi modern saat ini (salah satunya adalah televisi) tidak hanya bersfat teknis, namun melalui informasi- informasi yang disalurkan serta program- program yang disiarkan televisi (terutama program- program yang bersifat persuasif/ mempenaruhi opini publik) dapat memberikan pengaruh bagi perubahan social yang dikehendaki. Ini karena, menurut Marshall McLuhan dampak radikal yang dimunculkan oleh media terutama media teknologi modern (televisi) berdimensi pada ruang, waktu, dan presepsi manusia.

Menurut Deddy Mulyana, salah satu guru besar dan pakar Ilmu komunikasi d Indonesia menatakan; Dalam ilmu komunikasi, terdapat 12 prinsip komunikasi, diantaranya adalah Prinsip komunikasi dimensi isi dan dimensi hubunan. Teevisi sebagai salah satu media komunikasi, tentunya memiliki pesan yang akan disampaikan. Maka isi pesan dalam proram- program televisi merupakan dimensi isi, sedangkan Televisi sebagai alat (media) berposisi sebagai dimensi hubungan. Dalam hal ini, pengaruh suatu pesan akan berbeda bila disajikan dengan media yang berbeda pula. Misalnya, suatu cerita yang penuh dengan kekerasan dan seksualisme yang disajikan oleh media audio-visual (televisi) boleh jadi menimbulkan pengaruh yang jauh lebih hebat, misalnya dalam bentuk peniruan oleh anak-anak atau remaja yang disebabkan oleh tontonan sebuah televisi, bila dibanding dengan penyajian cerita yang sama lewat majalah dan radio.

Sama halnya dengan fenomena penyajian informasi & news di Indonesia (TV One dan Metro Tv) yang akhir- akhir ini meraih rating paling tinggi mengalahkan program- program acara Televisi lainya (menurut data Litbang KOMPAS pada pertengahan Februari 2010), hal ini dikarenakan disamping karena kemasan penyajian talkshow informasi dan news yang sangat inovatif, televisi juga memiliki sifat audio visual, sedangkan majalah dan koran hanya mempunyai sifat visual saja, dan radio mempunyai sifat audio saja. Berkenaan dengan ini, tidaklah mengejutkan bila Marshall Mcluhan mengatakan the medium is the message.

ERA BARU SIARAN TELEVISI INDONESIA; News Televition Generation

Standar

“Television takes the process much further by make in people visually available, and not in the frozen modality of newspaper photographs, but in movement and action”
(Fairclough 1995, 38-9)

oleh; Abdul Rahman Sutara
(catatan dari orang yang masih belajar)
SiGI Community

Diera globalisasi saat ini, jelas sekali bahwa televisi sebagai sebuah saluran informasi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainya. Menurut pakar televisi, Jhon Fiske, bahwa televisi merupakan “teks” yang dapat dibaca dan dimaknai secara luas. Situasi tersebut, tentu menjadikan televisi saat ini sebagai jendela dunia untuk setiap orang yang ingin mendapatkan informasi secara detail, ini karena penyaluran informasi melalui media televisi memiliki dua kekuatan pemahaman; audio dan visual.

Pada satu tahun terakhir ini, dua news Televisi di Indonesia mampu mengimbangi rating bahkan hampir mengalahkan program- program entertainment televisi. Kedua stasiun televise tersebut adalah Metro Tv dan TV One yang selama ini populer dengan program- program news & Informasi. Paling tidak ada dua factor pemicu utama yang menyebabkan naiknya rating program kedua stasiun televise tersebut ; (1) Penyajian program- program informasi dan News pada kedua stasiun Tv tersebut dikemas dengan sangat menarik dan inovatif sehingga penyajian programnya (namun bukan pada isi programnya) dapat menarik bagi semua kalangan masyarakat, karena selama ini program- program news & informasi hanya diminati oleh kalangan pendidikan dan ekonomi menegah keatas saja. (2) Penyajian informasi melalui dua stasiun Tv tersebut didukung oleh momentum/ kejadian- kejadian yang cukup monumental, misalnya; kasus skandal Bank Century dan perburuan kelompok teroris, dalam teori komunikasi dan wacana media ini disebut dengan dimensi isi dan situasional.

Namun, apakah suksesnya program- program news & informasi pada kedua stasiun televise tersebut menjadi tolak ukur atas era keterbukaan informasi saat ini? Terlebih lagi, apakah masyarakat Indonesia dan kelompok coorporasi televise telah memasuki era domokrasi informasi, sehingga orientasi keberadaan media sebagai informan connected antara kaum elit penguasa dengan masyarakat dapat secara fair terjadi. Untuk itu perlu kiranya menelaah kembali beberapa teori komunikasi media guna melihat posisi ideal media televise sebagai chanel- news maker dan masyarakat sebagai komunikan/news consumire

Berkaitan dengan proses pembentukan opini public melalui media, pakar teori komunikasi massa John Dewey melihat perkembangan kapasitas masyarakat telah melewati batas- batas, karena adanya sarana fisik komunikasi. Ini artinya, pembentukan opini public yang terjadi melalui proses diskusi kemudian disajikan melalui saluran media yang tepat (dalam hal ini televisi), maka dengan sendirinya ia akan membentuk kegiatan aktif dalam komunitas masyarakat penontonya. Senada dengan ini, dalam karya- karya lain pakar komunikasi modern, seperti Charles Horton Cooley dan Robert E. Park percaya bahwa media modern (dalam hal ini Televisi) dapat mewujudkan sebuah komunitas demokratis yang sebenarnya. Dengan kata lain, seperti yang ditulis dalam buku Jhon Dewey Media and the American Mind mengatakan bahwa; Komunikasi modern (salah satunya adalah televisi) secara mendasar berperan sebagai sebuah agen untuk memperbaiki konsesnsus politik dan moral secara meluas yang telah diancam oleh ganguan dari abad ke-19 berupa industrialisasi, urbanisasi, dan imigrasi.

Dalam paham kajian ilmuan komunikasi Kanada; Marshall Mcluhan, dengan teorinya yang terkenal technological determinism, yakni suatu pandangan dengan pendekatan cultural yang mengasumsikan teknologi membawa implikasi bagi perubahan cara hidup suatu masyarakat. Ini artinya, media komunikasi modern saat ini (salah satunya adalah televisi) tidak hanya bersfat teknis, namun melalui informasi- informasi yang disalurkan serta program- program yang disiarkan televisi (terutama program- program yang bersifat persuasif/ mempenaruhi opini publik) dapat memberikan pengaruh bagi perubahan social yang dikehendaki. Ini karena, menurut Marshall McLuhan dampak radikal yang dimunculkan oleh media terutama media teknologi modern (televisi) berdimensi pada ruang, waktu, dan presepsi manusia.

Menurut Deddy Mulyana, salah satu guru besar dan pakar Ilmu komunikasi d Indonesia menatakan; Dalam ilmu komunikasi, terdapat 12 prinsip komunikasi, diantaranya adalah Prinsip komunikasi dimensi isi dan dimensi hubunan. Teevisi sebagai salah satu media komunikasi, tentunya memiliki pesan yang akan disampaikan. Maka isi pesan dalam proram- program televisi merupakan dimensi isi, sedangkan Televisi sebagai alat (media) berposisi sebagai dimensi hubungan. Dalam hal ini, pengaruh suatu pesan akan berbeda bila disajikan dengan media yang berbeda pula. Misalnya, suatu cerita yang penuh dengan kekerasan dan seksualisme yang disajikan oleh media audio-visual (televisi) boleh jadi menimbulkan pengaruh yang jauh lebih hebat, misalnya dalam bentuk peniruan oleh anak-anak atau remaja yang disebabkan oleh tontonan sebuah televisi, bila dibanding dengan penyajian cerita yang sama lewat majalah dan radio.

Sama halnya dengan fenomena penyajian informasi & news di Indonesia (TV One dan Metro Tv) yang akhir- akhir ini meraih rating paling tinggi mengalahkan program- program acara Televisi lainya (menurut data Litbang KOMPAS pada pertengahan Februari 2010), hal ini dikarenakan disamping karena kemasan penyajian talkshow informasi dan news yang sangat inovatif, televisi juga memiliki sifat audio visual, sedangkan majalah dan koran hanya mempunyai sifat visual saja, dan radio mempunyai sifat audio saja. Berkenaan dengan ini, tidaklah mengejutkan bila Marshall Mcluhan mengatakan the medium is the message.

KILAS BALIK FFI 2005, KONTROVERSI DALAM KEBANGKITAN PERFILMAN NASIONAL

Standar

Oleh; Abdul Rahman Sutara Purba
Ketua Komunitas Mahasiswa Kreatif Audio-Visual (KOMKA)
Anggota diskusi “Suara Penonton Film dan Sinetron Indonesia” (SPEFSI)
UIN Syarif Hidayatullah,Jakarta


Pada 15 Desember yang lalu para insan film Indonesia baru saja selesai melaksanakan hajatan besar berupa Festival Film Indonesia (FFI 2005) dengan melibatkan 27 buah film sebagai pesertanya. Sebuah ajang motivasi untuk membangkitkan kembali gairah perfilman nasional yang sebelumnya sempat menghilang eksistensinya. Namun sangat di sayangkan tatkala Festival berlalu, Justru kesan buruk menerpanya. Isu–isu terjadinya ‘Jual beli’ prestasi merebak dan menjadi perbincangan kontroversi di kalangan masyarakat film tanah air, meski hal ini tak lepas dari peran media, terutama infotainment yang di anggap terlalu mengembangkan opini Shanker tanpa di sertai pengecekan terlebih dahulu kepada dewan juri (Koran Tempo, Senin 26 Desember 2005).
Melihat peristiwa tersebut, kemungkinan terburuk bisa saja kembali menimpa perfilman nasional, terutama terhadap ajang FFI. Paling tidak di saat kondisi ekonomi negeri ini belum mengarah pada perbaikan yang menguntungkan bagi produser-produser film, maka ajang FFI yang sedianya mampu menjadi motivator alternatif para Sineas dalam memproduksi film justru terkikis kepercayaan dan kredibelitasnya karena isu tersebut. Jika kondisi ini terus berlangsung pada setiap kali penyelenggaraan event FFI, di khawatirkan para kreator film akan malas menyertakan film mereka pada ajang-ajang FFI karena di anggap tidak menghargai proses kreatif dalam sebuah karya.
Lepas dari persoalan kontroversi di atas, paling tidak peristiwa ini dapat menjadi cambuk bagi Badan Pertimbangan Perfilman Nasiolnal (BPPN) selaku penyelenggara untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam proses pelaksanaan FFI di kemudian hari.

Kilas Balik FFI

Almarhum Usmar Ismail yang kemudian dikenal sebagai bapak Film Indonesia, pada 1950 mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film Darah dan Do’a adalah produksi perdananya. Film itu mempunyai arti penting dalam sejarah film Indonesia, sehingga dewan film nasional dalam konfrensi yang diadakan 11 Oktober 1962 menetapkan hari pengambilan gambar pertama film ini (30 Maret) sebagai Hari Film Nasional.
Langkah Usmar Ismail diikuti oleh Djamaludin Malik, yang mendirikan Perseroan Artis Republik Indonesia (PERSARI) dengan debutnya, Marunda. Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin saat itu mencetuskan ide untuk mengadakan Festival Film Indonesia (FFI) I, pada 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).
Dalam FFI pertama itu film Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini.
Pada 1970 industri film nasional menunjukkan gairahnya. Sebanyak 20 judul film di produksi pada tahun itu. Hal ini mendorong para wartawan film yang tergabung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya mengadakan pemilihan aktor dan aktris terbaik diawal 1971. Saat itu, untuk meningkatkan gairah penonton menonton film Indonesia. Badan sensor film mulai melonggarkan aktivitasnya. Adegan ciuman ataupun seks dalam film-film lokal banyak yang ‘lolos’ sensor.Misalnya saja film Tinggal bersama (1977),Noda dan asmara (1978), Si Genit Poppy, Bahkan film Gadis Panggilan (1976) di larang di putar di daerah Garut dan Sumedang.
Selama kurun waktu 1970-1980 sekitar 604 judul film di produksi. Jumlah paling besar terjadi 1977. tak lain karena peraturan pemerintah yang mengharuskan para importir film untuk memproduksi film lokal. Jumlah penonton pun kian meningkat. Kondisi itu terus terjadi sampai era 80-an.
Mulai masuknya jaringan bioskop 21 pada era 90-an, yang lebih memilih film-film Hollywood untuk meraih untung, membuat film Indonesia kembali ditinggalkan penonton. Kondisi itu menyebabkan produksi film nasional terus merosot. Hingga akhirnya, FFI berhenti karena tidak adanya film nasional yang layak ‘dipertandingkan’. Kebangkitan film nasional dimulai kembali pada tahun 2000 dengan keberhasilan film Petualangan Sherina dan Ada apa dengan Cinta yang keduanya di produksi oleh Miles Films. Dalam hal ini “mungkin” pantaslah kiranya jika Mira Lesmana, di anggap sebagai motivator dari kebangkitan film Indonesia yang sebelumnya hilang selama 12 tahun.

FFI 2005 Tanpa Karakter dan Identitas
Setelah dua belas tahun mengalami kevakuman, di tahun 2004 dan 2005 FFI kembali di gelar. Tentu hajatan ini diharapkan tidak sebatas ramai-ramai (festive) tanpa ada sesuatu yang berarti. Paling tidak dari ajang Festival ini dapat terwujud sebuah karakter dan identitas tentang film Indonesia.
Karakter dan identitas sangatlah di perlukan dalam sebuah ajang festival, terutama bagi film-film yang di anggap layak mendapat penghargaan pada fistival tersebut. Karakter dan identitas yang di maksud bisa saja tersirat dari pesan–pesan yang di sampaikan dalam film dan ajang festival tersebut. Misalnya saja pada penyelenggaraan piala Oscar, yang memberikan perhatian khusus pada film-film yang memiliki kualitas tehnik dalam teknologi sinematografi atau Palm spiring internasional film Festival yang menyajikan film–film bahasa asing berkualitas sebagai proses untuk pemilihan nominasi film berbahasa asing terbaik pada ajang piala Oscar.
Dengan demikian, subtansi yang tertinggal di FFI, selain pesta-pestanya, adalah penganugerahan Piala Citra terhadap film–film yang memiliki identitas budaya dan citra bangsa. Jejak lama Piala Citra dan beberapa piala lainnya menjadi indikator keberhasilan insan film dalam aspek estetika. Hasil kerja pekerja film mendapat kredit dan pengakuan. Pada ajang inilah pekerja film berbangga diri dengan pencapaian-pencapaian kreatif dan tidak semata menunjukkan diri pada capaian komersial. Memang beginilah seharusnya sebuah festival (Media Indonesia, sabtu 10 Desember 2005)

Perbaikan Proses FFI
Dikemudian hari, di harapkan perbaikan proses dalam penyelenggaraan FFI harus ditingkatkan. Perbaikan yang utama adalah pada sistem seleksi/penjurian dan promosi event FFI itu sendiri.
Misalnya saja dalam hal penjurian. Untuk mencapai siapa peraih Piala Citra, panitia meminta para produser untuk mendaftarkan film mereka. Setelah produser mendaftar, panitia FFI membentuk komite seleksi yang di tugaskan pra-nominasi atau menyeleksi film unggulan dalam bahasa panitia FFI. Tahun ini komite seleksi menetapkan tujuh film unggulan. Dari ketujuh film unggul inilah kemudian dewan juri menetapkan lima nominasi untuk masing-masing kategori. Dari lima nominasi, dipilihlah satu yang akan menjadi pemenang piala citra tahun ini. Celakanya adalah, dengan adanya dewan seleksi yang posisinya setingkat di bawah dewan juri, secara otomatis dewan juri hanya menyeleksi beberapa film saja dari keseluruhan jumlah film yang ada. Ini berarti pula yang memiliki hak untuk mengikutsertakan film pada festival (penjurian) adalah dewan seleksi, jika demikian maka tidak mustahil, sebelum film di nilai oleh dewan juri akan ‘terjadi permainan’ antara dewan seleksi dengan produser film guna meloloskan film-film tertentu untuk menjadi film unggulan yang selanjutnya akan di nilai oleh dewan juri. Jadi, kemungkinan terjadi ‘KKN’ sebenarnya terletak pada saat proses penyeleksian yang melibatkan dewan seleksi, bukan dewan juri bukan dengan dewan juri. Bandingkan dengan malam penganugerahan Piala Oscar dimana deawan menilai seluruh film yang diputar di bioskop komersial Los Angeles sekurang-kurangnya tujuh hari.
Proses pemilihan film unggulan yang dilakukan dewan seleksi sedikitnya telah mengurangi penilaian obyektif dewan juri, karena sebelum melaksanakan penilaian, dewan juri telah terpengaruhi oleh “penilaian” dalam pemilihan film unggulan yang di lakukan oleh dewan seleksi. Jika demikian, posisi dan kredibilitas dewan juri berada di bawah dewan seleksi?. Sebelumnya, tradisi pemilihan film unggulan pernah dilakukan pada FFI tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena pada saat itu film-film yang diproduksi dan di festivalkan jumlahnya cukup banyak
Permasalahan tidak hanya ada pada dewan seleksi saja. Dari sisi dewan juri, anggotanya akan lebih independen lagi apabila melibatkan mahasiswa-mahasiswi dan kelompok kajian film untuk terlibat di dalamnya. Ini di karenakan, mahasiswa dan kelompok kajian film mampu memberikan penilaian dari berbagai sisi ke ilmuan. Di samping itu, mereka memilki sifat sebagai penonton film yang kritis, dengan tidak ‘menerima dan ‘menelan’ mentah-mentah tontonan yang di sajikan dalam film. Bahkan konon, di masa-masa dahulu dalam penyelenggaraan FFI proses penilaianya senantiasa melibatkan mahasiswa dan kelompok-kelompok kajian film di dalamnya.

Aspek-aspek penilaian dewan juri juga perlu di perbaiki. Misalnya saja, dengan memberikan penilaian tersendiri terhadap film-film yang menampilkan nilai-nilai budaya dan norma bangsa serta film-film yang dapat membangkitkan nasionalisme kritis masyarakat Indonesia, dengan demikian film tidak hanya menyuguhkan hiburan belaka namun juga ikut melestarikan budaya bangsa dan dapat menjadi panutan bagi masyarakat. Bahkan saya pikir, film seperti Rindu kami padamu karya Garin Nugroho layak di berikan apresiasi atas peranya dalam menyampaikan pesan toleransi beragama sebagi ciri sikap pluralisme masyarakat Indonesia.Meskipun para dewan juri hanya menganggap film tersebut sabagai iklan layanan masyarakat, entahlah…
Dalam hal promosi, jika sebuah film baru dalam promonya senantiasa melakukan Road show, kenapa tidak dengan FFI. Paling tidak Road show bisa di lakukan di kampus-kampus dengan memutar film-film nominasi yang melibatkan mahasiswa dan kelompok-kelompok kajian film sebagai pesertanya. Dengan demikian, gema FFI akan sangat terasa. Di samping itu para mahasiswa-mahasiswi yang berada di kelompok-kelompok kajian film akan termotivasi untuk melanjutkan tongkat estavet sutradara, penulis naskah, produser, aktor-aktris dan kritikus-kritikus film di kemudian hari. Ini sangat berguna untuk proses regenerasi dan pengembangan perfilman nasional di kemudian hari.
Kedepan, penyelenggaraan FFI harus bisa dijadikan momentum bagi industri film nasional yang dapat menampung dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat indonesia.
FFI 2005 Berakhir dengan Kontroversi
Di Indonesia mungkin masyarakatnya telah terbiasa dengan hal-hal yang kontroversi. Bahkan sebuah hajatan insan kreatif film yang tidak memiliki kepentingan politik pun harus berakhir dengan kontroversi. Namun, yang lebih dikhawatirkan dari peristiwa ini adalah hilangnya motivasi insan film Indonesia untuk memproduksi film di kemudian hari. Atau mungkin sejarah akan berulang, dimana film Indonesia akan kembali mati suri. Entah kapan hidup kembali, ‘mungkin’?
KKN, lagi-lagi dituding sebagai penyebab kontroversi FFI 2005. Mengapa? Banyak infotainment dan media cetak yang menyatakan kemungkinan terjadinya ‘jual beli’ prestasi (Piala Citra), serta ketidak percayaan masyarakat film terhadap hasil penjurian FFI 2005. Jika itu benar, maka bersiaplah menghadapi kemungkinan terburuk bagi perkembangan film Indonesia di masa depan. Dimana para insan film Indonesia tidak lagi percaya untuk memproduksi filmnya di dalam negeri.
Belum lagi isu perdagangan bebas, yang akan membuka ruang bagi para investor dan produser-produser asing untuk memasarkan dan memproduksi filmnya di Indonesia dengan leluasa, apalagi jika aturan dan perangkat hukum yang berkaitan dengan hal tersebut menguntungkan pihak asing. Misalnya, rendahnya pajak atau biaya administrasi yang di kenakan terhadap film-film asing. Menghadapi situasi tersebut, sineas-sineas dalam negeri diharapkan lebih produktif serta dapat meningkatkan kualitas filmnya agar mampu bersaing dengan film-film asing. Bahkan peran serta pemerintah sangat di harapkan dalam ‘mengawal’ stabilitas produksi film nasional.

Wallahualam

Sebuah Catatan Kritis Menjelang Wisuda

Standar

EFEKTIVITAS KONTROL STUDENT GOVERNMENT
TERHADAP KEBIJAKAN KAMPUS
Oleh, Abdul Rahman Sutara EP

“Sikap dasar Manusia adalah bertindak, dan bukan menjadi sasaran Bertindak .
Hal ini memberi kita kekuatan untuk menciptakan keadaan”
(Stephen R. Covey, Psikolog dari BringHam Young University)

Dalam tatanan sistem pemerintahan di sebuah Negara, terdapat beberapa lembaga-lembaga atau departemen yang selanjutanya disebut sebagai lembaga penyelenggara Negara. Tentunya pada masing-masing lembaga Negara terbagi dalam dua fungsi pokok, yakni; lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana (implementasi program) dan lembaga yang berfungsi sebagai pengawas (controlling program).

UIN Syarif Hidayatullah, idelanya hanyalah sebuah perguruan tinggi yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya sebuah proses prektek belajar mengajar yang formal. Hanya saja, karena statusnya sebagai “perguruan tinggi” maka proses belajarnya tidak lagi melibatkan siswa melainkan “Mahasiswa”. Terkait dengan UIN Syarif Hidayatullah dan Mahasiswanya, terdapat sebuah pola prektek keilmuan dalam hal menciptakan dan mengimplementasikan kebijakan, yang disebut dengan “Student Government” atau sistem pemerintahan mahasiswa yang secara formal terdapat di UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam konteks Student Government, jelas memposisikan mahasiswa (meski ia berstatus pelajar) sebagai subjek, yang melulu hanya menjadi objek dari kebijakan kelompok birokrat kampus. Student Government, idelanya dibentuk guna mengamankan Asprirasi, investasi, hak dan asset yang memang seharusnya didapatkan oleh mahasiswa, disamping itu Student Government juga ikut melakukan control atas kebijakan-kebijakan kampus yang baik langsung maupun tidak langsung berdampak kepad mahasiswa.

Selanjutnya, agar Student Government sebagai sebuah sistem dapat berjalan dengan efektif, maka ibarat sebuah Negara ia harus memiliki lembaga penyelenggara yang berfungsi sebgai pelaksana program dan pengawasan program. Maka dalam praktek Student Govermment di UIN Syarif Hidayatullah, terdapat beberapa lembaga yang selanjutnya disebut dengan Keluarga Besar Mahasiswa (KBM-UIN) diantaranya; Kongres Mahasiswa Universitas (KMU), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Pada masing-masing lembaga tersebut, ada yang bersifat sebagi pelaksana program seperti; BEM dan UKM, serta lembaga yang memiliki sifat pengawasan seperti KMU dan DPM. Kembali kepada konsep ideal; keberadaan lembaga-lembaga tersebut guna menjalankan dan mengamankan Aspirasi mahasiswa. Namun apakah praktiknya demikian?

Dimana Kontrol Student Goverment?
Akhir-akhir ini, jika diamati semakin banyak kebijakan-kebijakan kampus yang disadari-maupun tidak telah dan akan merugikan mahaiswa. Beberapa praktik eksploitasi mahsiswa dan kampus yang dilakukan oleh pihak birokrat kampus (Rektorat dan Dekanat) tampak dilakukan sangat rapih dan terselubung

Sadarkah kita, bahwa keberadaan Toko koperasi didalam kampus telah menjadikan mahsiswa sebagai investor yang dirugikan. Perlu diketahui bersama, bahwa hampir keseluruhan dari infrastruktur yang ada dikampus UIN Syarif Hidayatullah dibiayai oleh mahasiswa dan sebagian APBN. Keberadaan beberapa toko koperasi tersebut, yang berpenghasilan 10 Jt/ hari (Untuk kantin fakultas Dakwah tahun 2006) telah meraup keuntungan yang sebagian dinikmati oleh kalangan birokrat tanpa ada timbal balik social rensponcibility kepada mahasiswa, padahal jelas, bangunan yang dijadikan area bisnis tersebut di biayai oleh mahasiswa.

Dalam pandangan saya atas dasar Simbiosis Mutualisme, idealnya Koperasi memberikan fasilitas tertentu (misalnya beasiswa prestasi) kepada mahasiswa yang memiliki potensi kreatif agar terus produktif dalam berkarya. Karena jika diperhatikan, begitu banyak mahsiswa/I dikampus UIN Syarif Hidayatullah yang memiliki potensi kreatif namun terhambat karyanya hanya kerena permasalahan financial.

Kini masalah juga tidak hanya pada kebijakan Birokrat kampus saja. Beberapa lembaga dalam Student Goverment, khsusnya BEM baik dari tingkatan Universitas sampai sampai jurusan/konsentrasi banyak diantara mereka yang tidak aplikatif dalam menjalankan programnya.

Coba kita hitung kembali, jika dalam setiap semesternya mahasiswa Fak. Dakwah dan Komunikasi membayar dana kegiatan mahasiswa yang apabila diakumulasikan jumlahnya mencapai puluhan_mungkin ratusan juta hannya disuguhkan dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya ceremonial tanpa menganalisa scientic & skill prority yang benar-benar dibutuhkan oleh mahasiswa FDK sebagai bekal menghadapai persaingan dunia kerja.

Selanjutnya, melihat potret Student Goverment saat ini, akan memberikan gambaran kepada kita bahwa telah terjadi kesamaan mentalitas antara kaum elit kampus (BEM) dengan Birokrat kampus (Rektorat&Dekanat). Lantas bagaimana dengan fungsi control Lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Mahasiswa) yang idealnya mengawasi setiap program-program BEM dan juga berkerja sama dengan BEM sebagai lembaga eksekutuif guna mengawasi setiap kebijakan dan program Birokrat kampus.

Kenyataan yang ada saat ini, bahwa fungsi control yang dilakukan DPM hanya sebatas ceremonial dan “bagi-bagi kue” pada saat kongres Budgeting dana kegiatan mahsiswa yang diselenggarakan dua tahun sekali. Peran dan aktifitas Dewan Perwakilan Mahasiswa yang seperti inipun hanya terjadi pada tingkat legislatif pusat (DPMU) saja, sementara pada tingkatan DPMF dan DPMJ nyaris tidak berperan dan berfungsi dalam pengawasan aktifitas-program BEM-F dan BEM-J.

Gerakan Mahasiswa Sebagai Oposisi Sejati
Dalam rangkaian peristiwa direpublik ini, mahassiswa muncul seolah sebgai pendekar yang menentukan hasil akhir dalam proses pergolakan sistem, misalnya saja dalam gerakan ’65 berhimpunya mahasiswa dalam gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan Tritura, peristiwa gerakan mahasiswa di Senen yang terkenal dengan peristiwa Malari, dan yang masih hangat pada tahun 1997-1998 muncul gerakan Reformasi, yang lagi-lagi mahasiswa menjadi penentu atas hasil akhir yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto. Sayangnya, gerakan mahasiswa dengan semangat idealismenya cenderung didahulukan daripada harus memahami situasi yang sebenarnya. Gerakan seperti inilah yang selalu berakhir dengan perubahan yang tidak sempurna.

Sebagai salah satu kelompok social, idealnya mahasiswa selau berada dalam posisi “gerakan oposisi” saat momen-momen penting dalam proses perubahan social dilingkunganya dan masyarakat. Ini tak lepas dari posisinya selaku kaum intelektual. Kecendikiawanan selain bersandar pada kecerdasan dan logika, juga sangat lekat dengan aspek moral dan etika, yang menempatkan keadilan dan kebenaran diats segala-galanya. Inilah yang harus menjadi prinsip atas cita-cita dalam gerakan mahasiwa.

Karena mahasiswa bukanlah “manusia mumi”, siapapun yang menyebakan unstabilitas di sebuah lingkungan social, terutama kampus. Maka mahasiswa haruslah bertindak sebagai oposisi guna mengarahkan unstabilitas tersebut. Tidak peduli ia birokrat kampus apalagi para elit mahasiswa, jika mereka telah menyalahi prinsip dan cita-cita keadilan bersama sehingga menyebabkan unstabiltas lingkungan sosial, maka kelompok mahasiswa yang lainya harus siap untuk menyadarkanya.

Karena ingat, bahwa anda bukanlah “mumi” yang tidak berfungsi panca inderanya, melainkan anda adalah manusia intelektual yang merasakan, melihat dan dan mendengar segala bentuk penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan social.

“Mulailah dengan berfikir, jika kita belum siap dan mampu untuk berbuat”

Ciputat, 17 Agustus 2008

aRs

JIKA SAJA MAKAN SIANG DI WARTEG ITU BERSAMA PRESIDEN

Standar

“Sebuah renungan untuk para pemimpin”
by; Abdul Rahman Sutara

,……..Hidup dan tinggal disebuah Negara yang besar dan kaya, berada dalam komunitas yang pantas dianggap mapan, karena usianya yang sudah puluhan tahun, ternyata belum mampu mejamin individu- individu yang berada didalamnya stabil. Dalam hal ini, tolak ukur sederhana stabilitas individu adalah kesejahteraan mikro; terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya……….,

Sudahkah negara ini, bersama elemen- elemen komunitas social yang ada didalamnya menjamin stabilitas setriap indivu yang berada didalamnya?. Apakah bentuk- bentuk pembangunan dinegara ini, telah memberikan jaminan dan harapan hidup (Life expectancy) kepada rakyatnya?.

Bagaimana dengan elemen kelompok social yang berada didalamnya, yang senantiasa memberikan kontribusi berupa gagasan dalam sudut pandang Makro untuk negaranya, namun secara tidak sadar membiarkan individu- individu “kecil” (kadernya) hidup menggelandang, bahkan tak jarang “melacur” kapada kepentingan kelompok elit politik apapun asalkan bisa memberikan jaminan social kepada mereka.., Jika sudah begini, kemanalagi ibu pertiwi harus mencari pendekar- pendekar social disaat para “politisi pembangunan” sudah tak layak lagi menjadi pendekar dalam membangun bangsa ini. Masihkah bisa kita berharap pada para aktivis, karena sepertinya, merekapun sulit sulit meraih harapanya sendiri..

Inilah potret kaum bangsa yang kita cintai, ternyata harus jujur diakui; Kita belum mampu meraih kemerdekaan 100%, seperti yang dicita- citakan deklarator Indonesia untuk dunia; Tan Malaka.

Saat siang hari, sebelum pulang seperti biasa ”Dia” sempatkan diri untuk makan siang di warteg yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dahsyat betul suasana makan hari itu, “Dia” di temani oleh empat orang bapak- bapak yang kebetulan sudah lebih dulu berada disitu.., sambil makan siang kami menyaksikan sebuah berita politik tentang profile beberapa calon presiden dari salah satu stasiun TV swasta.

Heum… santap siang sambil menyimak berita politikpun terasa semakin hangat, saat bapak- bapak yang berada disitu menyimak dan mengomentari berita- berita politik yang muncul. Salah satu diantara mereka berujar; “aalah.., mau siapa aja yang jadi presiden, sama aja ko..,”, sementara yang lain menanggapi..”iya.., gak kayak presiden- presiden yang dulu, apalagi waktu zaman Gusdur, masih mending harga- harga gak terlalu mahal… sampe- sampe saya bisa beli TV”.., yang lain juga tak mau ketinggalan komentar…”Iya..ya.. zaman Megawati ko’ kayaknya masih banyak yang murah.., Eeeh.. pas zaman Bambang Yudhoyono malah musibah yang banyak….” Bapak- bapak yang lain, menanggapinya dengan sinis..”Lha.., kalo’ musibah sih itu urusan Tuhan… bukan manusia” sepertinya bapak- bapak yang satu ini Fansnya SBY… ujar dia dalam hati. Sambil menikmati menu balado tongkol, mau- tak mau “Dia” nikmati pula pembicaraan bapak-bapak tersebut sambil sesekali tersenyum dan berfikir “Oouh.. ternyata, kesejahteraan hidup serta kesanggupan mereka dalam membeli beberapa kebetuhan hidup merupakan jaminan yang selalu ingin mereka dapatkan dan rasakan dari para pemimpin mereka…”

Sebentar dulu, ceritanya belum selesai disitu. Keesokan harinya, kebetulan libur. Dan kebetulan juga “Dia” bangun pagi, kalau tidak salah waktu itu pukul 08.00. Belum sempat mandi, sambil memanaskan motor dan menikmati teh hangat dan rokok sebatang, lima menit kemudian ia bergegas menuju salon cuci motor di daerah kp. Utan. Setibanya disalon cuci motor tersebut, seperti biasa, patugas mengambil alih kunci motornya kemudian memindahkanya ke tempat steam. Sambil menunggu proses cuci motor selesai, “Dia” pun duduk disalah satu kursi depan sebuah kios. Sesaat kemudian, baru saja “Dia” hendak menyalakan rokok, terdengar suara menyapanya; “…. Ngopi bang…….??” Sebentar “Dia” diam dan merespon, “Ooou… ya boleh, kopi item ya.. jangan terlalu panas”. Lagi- lagi belum sempat dia menyalakan rokoknya.. pelayan kios itu kembali memnyapanya dan bertanya… “PMII UIN masih aktif bang,,,,,??” untuk yang satu ini “Dia” agak tersentak… beranjak dari duduknya menghampiri pelayan kios tersebut yang sedang membuatkanya kopi, dan bertanya “Sory… Lo anak PMII juga…??”. …….”Ia bang, dulu waktu semester II sampe semester IV saya aktif di PMII fakultas Adab, Saya juga pernah lihat abang.. waktu ngelantik anak- anak PMII komisariat Adab..” sambil mengambil kopi yang dibuatnya, “Dia” hanya tertegun sambil mengangguk- ngangguk dan menatap pria pelayan kios itu dengan seksama, berusaha mengingat- ngingat wajah pria itu, namun sayang tetap saja “Dia” tidak mampu mengingat keberadaan pria itu di komunitas PMII, dalam hatinya, “Dia” merasa malu dan bersalah karena tidak sempat mengenal pria pelayan kios tersebut (mudah-mudahan ini tidak Lebay)… ahh. Kemudian “Dia” bertanya kembali kepada pria pelayan kios tersebut…; “Terus, kuliah masih aktif…??” pria itu menjawab; “… duuh bang, gak di terusin, gak ada uang euy….” Aaagh… lagi- lagi “Dia” merasa malu oleh jawaban pria tersebut.

“Dia” bukanlah seorang pucuk pimpinan tertinggi, dia hanya seorang aktivis yang berusaha membagi waktu pengabdianya, untuk keluarga, Tuhan dan komunitas PMII yang telah menularkan “virus” anti diam kepadanya, meski terkadang “virus” itu telah membuatnya insomnia; dimulai dengan membenturkan kepentingan akal dengan hati. Saat itu, dalam benaknya, betapa beratnya setiap takdir kepemimpinan yang diterima dan diemban oleh semua umat manusia, jika salah satu dari tanggung jawab kepemimpinan tersebut lalai terlaksana. Meski level kepemimpinan tersebut hanya pada sebuah organisasi kemasyarakatan. Coba bayangkan, bagaimana jika dua situasi berbeda diatas dialami langsung oleh seorang pimpinan Negara, Preiden. Wallahua’lam..

Situasi ini, harus direnungkan untuk merumuskan kembali konsepsi kesejahteraan individu dan organisasi yang tidak melulu bergantung pada konsepsi politik dan stabilitasnya. Dalam hal ini, “Dia” hanya tidak ingin jika seorang aktivis atau seorang penggiat organisasi harus menjadi seorang “gelandangan” karena gagal dalam menghadapi persaingan social, terkecuali jika menggelandang untuk sebuah perlawanan, seperti Tan Malaka, atau kelompok gelandangan Yogyakarta ditahun 1980-1981 (Artijo Alkostar; Gelandangan, Pandangan Ilmu Sosial. LP3ES 1994). Tidak adalagi konsepsi kebenaran tentang “penganiayaan diri” sebagai doktrin perjuangan dalam organisasi kepada kader- kadernya!.

Harus di Ingat, aktivis adalah kaum yang mengerti serta luas pengetahuanya. Maka sangat aneh, jika ia masih belum sadar; bahwa situasi ketimpangan kesejahteraan yang hari ini dialami oleh individu di organisasi dan masyarakat luas, merupakan dampak dari sebuah sistem ekonomi yang sengaja didisen untuk menguntungkan kelompok- kelompok elit ¬coorporasi dan kelompok pengendali sistem relasi kekuasaan. Sungguh prihatin dan miris (rasanya… ingin sekali ku banting computer ini…) namun, terpaksa ku lanjutkan menulis. Jika dalam sebuah organisasi, praktek- praktek monopoli kesejahteraan dan eksploitasi potensi kader (malahan bukan mengembangkanya) dilakukan oleh seorang elit penguasa organisasi, bahkan terkadang oleh orang yang sok berkuasa diorganisasi tersebut, maka akan sulit dihindari keberadaan organisasi hanya akan menjadi “rumah” para gelandangan.

Sepertinya kita memang harus mengingat kembali, tentang teori konsepsi ekonomi; “…bukan pertumbuhan yang menciptakan kemerataan, melainkan kemerataanlah yang menciptakan pertumbuhan…”. Siapapun diantara kita yang saat ini dan esok akan menjadi pemimpin, berilah kesempatan secara luas kepada “mereka” untuk mengeksplorasi potensi dirinya, bukan menutupi ataupun menghalang- halanginya, sungguh tidak ada satu kesuksesan individu yang diraih dengan single experience melainkan karena semangat kebersamaan dan kolektivitas perjuangan.

“Dia” pun memaksaku menyelesaikan tulisan ini, karena “dia” mengerti; batin ku tak mungkin ‘tega’ menceritakan semuanya, sambil berpesan; “…Sahabat, diawal abad 21 tepatnya awal tahun 2000-an sekitar tahun 2008, kapitalisme liberal perlahan akan hancur, konsepsi ekonomi Third way ala’ Anthony Giddens meski mereka malu mengakuinya, telah gagal. Masihkan kita terjebak didalamnya, dengan prilaku- prilaku “sadar- tidak sadar” kita yang bergaya capital dan consumire ini… ”

Jika mungkin, hari- hari esok “Dia” tidak ingin lagi mendengar; “….Sobat, aku pinjem uang 20.000 dong, gak ada ongkos neh.. buat jalan ke acara bedah buku dosen ku…,“. Mari kita ingat kembali sebuah lirik lagu tentang pembebasan “… Hari- hari esok adalah milik kita,, Terciptanya masyarakat sejahtera,, Terbentuknya tatanan masyarakat…”. “Dia” hanya berharap, kelak suatu saat nanti, lirik lagu ini akan menjadi nyata, bagi dirinya, kelompoknya dan bangsanya…,
Wallahu a’lam Yaa Waduud…

Ciputat- Puncak, 12 Juli 2009
Ars,
SANY0838